JARIMAH
QADZAF
Diajukan guna memenuhi tugas dalam
Mata Kuliah
Hukum Pidana Islam
MAKALAH
Disusun Oleh :
Nisa
Auliana br.tampubolon (14340016)
Mohammad
Faqih Az-Zayyad (15340002)
Mahmud (15340006)
Winna
Ilmalana Ulfa (15340009)
Dosen :
Prof. Dr. Drs. H.
Makhrus Munajat, S.H., M.Hum.
ILMU
HUKUM
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Islam
merupakan agama yang sangat memperhatikan keadaan hambanya. Ini terbukti dengan
ayat-ayat yang tertera dalam kitab suci ummatnya yang selalu menyeru kepada
nahi mungkar dan amal ma’ruf. Namun karena tabiat manusia adalah makan al-khatha’ wa an-nisyan, maka akan
selalu berbuat kesalahan apabila tidak ada aturan yang mengatur dan hamba yang
saling menegur. Fiqh jinayah sendiri merupakan segala ketentuan hukum mengenai
tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf,
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an
dan Al-Hadist.
Persoalan menuduh seseorang sebagai pemerkosa
atau penzina adalah kesalahan yang serius dalam Islam. Malahan Islam membuat
kehormatan pada salah satu dari lima kebutuhan dasar yang mesti dijaga dalam
Islam. Manakala sesuatu tuduhan zina pada seseorang tanpa barang bukti adalah
salah satu dari tujuh dosa besar. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an Surah
An-Nur ayat 23 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita
yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di
dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.
Al-Qur’an
merupakan penjelas Allah tentang syariat, sehingga disebut Al bayan. Albayan
secara garis besar mempunyai empat cara dan salah satunya dengan cara nash
(tekstual) tentang syariat sesuatu, oleh karena itu, pada kesempatan kali ini
kami akan memaparkan sedikit tentang jarimah Qadzaf. Apa sih jarimah Qadzaf
itu?. Apa sajakah yang menjadi dasar hukumnya?. Dan sanksi hukum yang seperti
apakah yang berlaku pada pelaku Qadzaf itu?. InsyaAllah kami akan memaparkannya
dalam makalah ini.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.) Apa
pengertian Qadzaf ?
2.) Apa
dasar hukum larangan Qadzaf ?
3.) Apa
hak Allah dan hak manusia dalam Jarimah Qadzaf ?
4.) Bagaimana
pembuktian dalam Jarimah Qadzaf ?
5.) Apa
hal-hal yang menggugurkan hukuman ?
C.
TUJUAN
1.) Memahami
pengertian Qadzaf.
2.) Mengetahui
dasar hukum larangan Qadzaf.
3.) Mengetahui
hak Allah dan hak manusia dalam Jarimah Qadzaf.
4.) Mengetahui
pembuktian dalam Jarimah Qadzaf.
5.) Mengetahui
hal-hal yang menggugurkan hukuman dalam Jarimah Qadzaf.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Qadzaf (Al-Qadzfu)
Salah satu delik
pidana dalam hukum pidana islam yaitu Al-qadzfu. Al-qadzf secara harfiah berarti
melemparkan sesuatu. Istilah qadzaf dalam hukum islam adalah tuduhan terhadap
seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan.[1]
Qadzaf adalah
melempar tuduhan. Menuduh wanita-wanita yang suci dan terjaga tergolong
perbuatan yang haram, kecuali orang yang menuduh itu membawa bukti. Qadzaf
termasuk perbuatan haram.
Dalam hukum
islam, menuduh itu ada dua macam, yakni menuduh zina yang diancam dengan had
dan menuduh selain zina yang diancam dengan ta’zir.[2]
Suatu perkataan
bisa dianggap tuduhan bilamana tidak sesuai dengan kenyataan. Suatu prinsip
dalam fiqh jinayah bahwa barang siapa menuduh orang lain dengan sesuatu yang
haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tidak dapat
membuktikan tuduhannya itu, maka ia wajib dikenakan hukuman.
Adapun kepada
orang yang menghina orang lain dan yang bersangkutan tidak rela maka ia
dituntut untuk membuktikan penghinaannya, sebab sudah jelas penghinaan itu
tidak dapat dibenarkan. [3]
B.
Dasar
Hukum Qadzaf dalam Al-Qur’an
Dasar hukum bagi
orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah didera sebanyak 80 kali, jika
yang menuduh orang merdeka. Sebagaimana firman Allah : Q.S. An-Nur ayat 4 :

Artinya : ”Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan 4 orang saksi, maka dera lah mereka (yang menuduh itu) 80 kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik “ (Q.S. An-Nur : 4).
Dan disebutkan
juga dalam firman Allah Q.S An-Nur: 13 yang artinya “Mengapa mereka (yang
menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?. Oleh
karena mereka,tidak mendatangkan saksi-saksi,maka mereka itulah pada sisi Allah
orang-orang yang dusta”.
Serta dijelaskan pula dalam Q.S.
An-Nur : 19 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
berbuat yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi
mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui,sedang kamu
tidak mengetahui. Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa “Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman
(berbuat zaina) mereka kena laknat didunia dan akhirat, dan bagi mereka azab
yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Dihari itu, Allah akan
memberi mereka balasan yang setimpal menurut yang semestinya,dan tahulah mereka
bahwa Allah lah yang benar, lagi yang menjelaskan segala sesuatu yang menurut
hakikat yang sebenarnya.” (Q.S An-Nur : 23-24).
Garis hukum qadzaf didalam Al-Qura’n
yang diungkapkan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak mendatangkan empat orang
saksi,maka saksi hukum baginya 80 kali dera.
2. Janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang fasik.
3. Orang-orang yang menuduh
dimaksud tidak mendatangkan empat orang saksi atas penuduhannya maka mereka
itulah disisi Allah orang-orang yang didusta.
4. Orang-orang yang ingin agar
berita prilaku yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman,
bagi mereka azab yang pedih didunia dan diakhirat.
5. Sesungguhnya orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik lagi beriman untuk membuat zina,mereka
kena laknat didunia dan diakhirat,dan bagi mereka azab yang besar.[4]
C.
Unsur-Unsur
Jarimah Qadzaf
1. Menuduh Zina atau Mengingkari Nasab
Maksudnya adalah
ucapan yang mengandung tuduhan atau penolakan terhadap tuduhan keturunan,
seperti mengatai seseorang telah berbuat zina atau menempelkan predikat pezina
kepada seseorang dan tidak mengakui anak atau janin yang lahir atau masih dalam
kandungan istrinya.
2. Orang yang dituduh Harus Orang
Yang Muhsan
Artinya orang
yang dituduh itu orang baik-baik bukan seseorang yang biasa berbuat zina, kalau
yang dituduh itu pezina, hal itu bukanlah tuduhan tetapi sesuai dengan
kenyataannya.
3. Adanya I’tikad Jahat
I’tikad jahat
inilah yang memotivasi perbuatan tersebut untuk mencelakakan orang lain yang tidak
berdosa, sehingga tercemar nama baiknya atau celaka karena hukuman dera.
Mengenai qadzif (orang yang menuduh orang lain berzina) ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi, antara lain : berakal, dewasa, tidak dipaksa, inilah
syarat-syarat yang menjadi dasar penuntutan.
Sedangkan maqdzuf (orang yang
dituduh berzina) fuqaha’ sepakat bahwa diantara syaratnya adalah: islam, akal
sehat, baligh, merdeka (bukan budak), iffah (menjauhi perbuatan zina). Kelima
syarat tersebut harus terdapat pada tertuduh agar hukuman qadzaf dapat
dilaksanakan terhdaap penuduh (atas tuduhan dustanya).[5]
D.
Hak
Allah dan Manusia dalam Jarimah Qadzaf
Dalam jarimah
qadzaf terkandung dua hak, yaitu campuran antara hak Allah (masyarakat) dan hak
manusia, akan tetapi, mana diantara kedua hak tersebut yang lebih kuat. Menurut
imam Abu Hanifah, dalam jarimah qadaf hak allah (masyarakat) lebih besar dari
hak manusia (individu). Oleh karena itu, apabila perkaranya telah sampai ke
pengadilan (hakim) maka hukuman harus dilaksanakan meskipun orang yang dituduh
tidak mengajukan. Di samping itu sebagai konsekuensi hak Allah (masyarakat),
hukuman qadzaf tidak terpengaruh oleh ma’af dari korban (maqdzuf).[6]
Menurut madzhab
Syafi’i, di dalam jarimah qadzaf hak manusia lebih kuat dari pada hak Allah
(masyarakat). Hal ini karena qadzaf merupakan jarimah yang melanggar korban dan
kehormatan itu adalah haknya. Oleh karena itu, apabilakorban memberikan ma’af
kepada pelaku dapat dibebaskan dari hukuman, meskipun perkaranya sudah sampai
pengadilan.[7] Pendapat ini juga diikuti oleh madzhab
Hambali. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari hak manusia yang lebih
dominan maka hukuman had bisa diwaris oleh ahli waris dari korban apabila ia
(orang yang dituduh atau korban) meninggal dunia.
Dikalangan
madzhab Maliki tidak ada kesepakatan mengenai hal ini, karena Imam Malik
sendiri mempunyai dua pendapat. Suatu ketika pendapatnya : pendapat Imam
Syafi’i yaitu hak manusia lebih kuat daripada hak Allah, sehingga ada pengaruh
ma’af. Akan tetapi, pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah bahwa hak
manusia lebih kuat dari pada hak Allah sebelum adanya pengaduan dari orang yang
dituduh. Akan tetapi, setelah adanya pengaduan maka hak Allah lebih kuat
daripada hak manusia, sehingga tidak ada pengaruh ma’af.[8]
Alasan Imam Malik adalah bahwa hak masyarakat belum begitu terlihat kecuali
setelah adanya pengaduan. Apabila tidak ada pengaduan maka tidak ada hak lain
kecuali hak manusia (individu).
Meskipun para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan hak Allah (masyarakat) dan hak manusia
(individu) dalam jarimah qadzaf, namun karena adanya hak campuran di dalamnya,
mereka sepakat mengenai perlu adanya pengaduan dan tuntutan oleh orang yang
dituduh secara langsung, tidak boleh oleh orang lain. Ketentuan ini merupakan
pengecualian dari kaidah umum yang berlaku dalam syari’at islam, bahwa dalam
jarimah huhud pengaduan dari korban tidak menjadi syarat untuk melaksanakan
penuntutan terhadap pelaku. Alasan dari pendapat ini adalah walaupun qadzaf
termasuk jarimah hudud, namun jarimah ini melanggar kehormatan orang yang
dituduh secara pribadi.
Orang yang
berhak memiliki pengaduan itu adalah orang yang dituduh itu sendiri. Apabila ia
mati setelah mengajukan pengaduannya maka menurut Imam Abu Hanifah tuntutan
menjadi gugur, karena hak semata-mata yang tidak bernilai mal (harta) tidak
bisa diwaris.[9] Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad, hak pengaduan dan tuntutan bisa diwaris oleh ahli waris.
Apabila ahli warisnya tidak ada maka tuntutan menjadi gugur.
Apabila orang
yang dituduh itu orang yang sudah meninggal maka menurut jumhur fuqoha termasuk
imam yang 4, bisa di adakan penuntutan terhadap penuduh atas dasar pengaduan
dari orang yang memiliki hak pengaduan. Apabila pemilik hak pengaduan tidak ada
maka tuntutan menjadi gugur. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai
siapa yang dianggap sebagai pemilik hak pengaduan ini. Menurut Imam Malik,
orang yang dianggap sebagai pemilik hak pengaduan ini adalah orang tua dari
orang yang dituduh dan anak-anaknya yang laki-laki. Apabila mereka ini sama
sekali tidak ada maka yang menjadi pemilik hak adalah ashobah dan anak-anaknya
yang perempuan, setelah itu saudara perempuan dan neneknya. Menurut Imam Abu
Hanifah, hak pengaduan itu dimiliki oleh semua anak dan keturunannya, orang
tuanya, termasuk cucu dari anak perempuan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa
pemilik hak pengaduan itu adalah semua ahli waris dari orang yang dituduh.[10]
E.
Pembuktian
Untuk Jarimah Qadzaf
Jarimah
qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti,yaitu sebagai berikut :
1. Dengan
Saksi
Saksi merupakan salah
satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat –syarat saksi sama dengan syarat
saksi dalam jarimah zina, yaitu baligh, berakal, dapat berbicara, adil, islam,
dan tidak penghalang menjadi saksi, adapun jumlah atau banyaknya saksi dalam
jarimah qadzaf sekurang-kurangnya dua orang.
2. Dengan
Pengakuan
Jarimah qadzaf dapat
dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa ia menuduh
orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam
majlis pengadilan.
3. Dengan
Sumpah
Menurut imam Syafi’i,
jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan
pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang
menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila
penuduh enggan bersumpah maka jarimah qadzaf dibuktikan dengan ke engganannya
untuk bersumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa
meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar melakukan
penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan
dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.[11]
Akan tetapi Imam Malik
dan Imam Ahmad tidak membenarkan dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan
oleh madzhab-madzhab Syafi’i. Sebagian ulama Hanafiah pendapatnya sama dengan
madzhab Syafi’i, yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian
lagi tidak membenarkannya. Menurut hemat penulis, pembuktian dengan sumpah ini
kurang meyakinkan dalam hakim yang hukumnya cukup berat seperti halnya dalam
jarimah qadzaf ini.[12]
F.
Hukuman
Untuk Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah
qadzaf ada 2 macam, yaitu sebagai berikut :
1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera
sebanyak 80 kali. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah
ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan
pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat.
Menurut madzhab Syafi’i orang yag dituduh berhak memberikan ampunan, karena hak
manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi
bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena dalam jarimah qadzaf
lebih dominan daripada hak manusia.[13]
2.
Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Kedua macam hukuman tersebut didasarkan
pada fiman Allah dalam surah An-Nur ayat 4 :

Artinya :
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik. (Q.S An-Nur : 4)
Hanya saja andai kata mereka tobat,
apakah kesaksiannya tetap gugur atau bisa diterima kembali ? dalam masalah ini
para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, kesaksian penuduh tetap
gugur, meskipun ia telah bertaubat. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i,
Imam Ahmad. Kesaksian penuduh diterima kembali apabila ia telah bertaubat.[14]
Adapun yang menjadi sebab terjadinya
perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah karena adanya perbedaan penafsiran
terhadap firman Allah dalam surah An-Nur 5 :

Artinya :
“Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q.S An-Nur : 5)
Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa istisna’ (pengecualian) setelah adanya beberapa kalimat yang
di-athafkan (dirangkaikan) hanya kembali pada kalimat yang terakhir. Dengan
demikian dalam penafsiran ini tobat hanya berpengaruh terhadap kefasikan.
Artinya, dengan taubat maka penuduh tidak fasik lagi, tetapi haknya untuk
menjadi saksi tetap dicabut dan tidak di rehabilitasi. Sedangkan menurut Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, istisna’ (pengecualian) setelah adanya
beberapa kalimat yang di-atahfkan (dirangkaikan) kembali kepada kalimat
sebelumnya. Berdasarkan penafsiran ini tobat berpengaruh terhadap kefasikan dan
pencabutan hak sebagai saksi. Artinya, dengan tobatnya penuduh maka ia tidak
fasik lagi dan haknya untuk menjadi saksi dapat diterima kembali.[15]
G.
Hal-Hal
Yang Menggugurkan Hukuman.
Hukuman Qadzaf dapat gugur karena
hal-hal berikut ini :
1. Karena para saksi yang diajukan oleh
orang yang dituduh mencabut kembali persaksiannya.
2.
Karena orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.
3. Karena korban (orang yang dituduh
berbuat zina) tidak mempercayai keterangan para saksi. Ini menurut Imam Abu
Hanifah.
4. Karena hilangnya kecakapan para saksi
sebelum pelaksanaan hukuman. Ini juga menurut Imam Abu Hanifah, sedangkan
menurut ulama yang lain tidak demikian.[16]
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam
Islam, kehormatan merupakan hak yang harus dilundungi. Oleh sebab itu, tuduhan
zina yang tidak terbukti dianggap sangat berbahaya dalam masyarakat. Dalam hukum islam, perbuatan seperti ini
masuk kategori tindak pidana hudud yang diancam dengan hukuman berat, yaitu 80
kali dera. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah An-Nur :4. Dan juga
tindakan ini semata-mata karena kebohonganya saja, tetapi juga karena
pencemaran nama baik orang yang dituduh
ditengah-tengah masyrakat. Selain hukuman 80 kali dera (cambukan) ditambah
dengan tidak diterima persaksianya karena dia dianggap sebagai seorang
pembohong, dan persaksianya karena dia dianggap sebagai seorang pembohong, dan
persaksianya hanya dapat diterima dari orang yang jujur, kecuali penuduh itu
bertaubat.[17]
DAFTAR
PUSTAKA
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy,
Juz II, Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun.
Abdurahman al-Jaziri, kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-‘Arba’ah, Beiurit, Dar al-Fiqh.
Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syara’i, Juz VII, Dar Al-Fikr,
Beirut, 1996.
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Ali, Zainuddin. Hukum
Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Al Maliki, Abdurrahman. Sistem Sanksi dan Hukum Membuktikan dalam
Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2011.
Djazul, H.A.
fiqh jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Dar Al-Fikr, tanpa tahun.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989.
[1]
Dr.H.Zainuddin Ali, M.A. Hukum Pidana
Islam. (Jakarta: Sinar Grafika,2007), hal 53.
[2]
Abdurrahman Al Maliki, dkk. Sistem Sanksi
dan Hukum Membuktikan dalam Islam.(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,2011), hal
59.
[3]
Prof.Drs.H.A.Djazuli. fiqh jinayah. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 63-64.
[4]
Dr.H.Zainuddin Ali,M.A. Hukum Pidana Islam.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal 53-55.
[5]
Prof. Drs.H.A.Djazuli. Fiqh Jinayah. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 66-67.
[6]
Ala’ Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syara’i, Juz VII,
Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 77.
[7]
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989, hlm. 81.
[8]
Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Dar Al-Fikr, tanpa
tahun, hlm. 331.
[9]
‘Ala’ Ad-Din Al-Kasani, op. cit. hlm. 81-82.
[10]
Ibid, hlm. 482.
[11]
Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi,
Beirut, tanpa tahun, hlm. 482.
[12]
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 69.
[13]
Ibid, hal. 491.
[14]
Ibid
[15]
Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Dar Al-Fikr,
Damaskus, 1989, hlm. 81.
[16]
Abd Al-Qadir Audah, II, op. cit, hlm. 495.
[17]
Abdurahman al-Jaziri, kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-‘Arba’ah, (Beiurit: Dar
al-Fiqh, t.t), IV:hlm 179.
akhii, izin share ya,,terima kasih sblm ny.
BalasHapusIzin share yha
BalasHapus