Rabu, 25 Mei 2016

Makalah Jarimah Qadzf



JARIMAH QADZAF
Diajukan guna memenuhi tugas dalam Mata Kuliah
 Hukum Pidana Islam



MAKALAH
Disusun Oleh :
Nisa Auliana br.tampubolon (14340016)
Mohammad Faqih Az-Zayyad (15340002)
Mahmud (15340006)
Winna Ilmalana Ulfa (15340009)
Dosen :
Prof. Dr. Drs. H. Makhrus Munajat, S.H., M.Hum.

ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan keadaan hambanya. Ini terbukti dengan ayat-ayat yang tertera dalam kitab suci ummatnya yang selalu menyeru kepada nahi mungkar dan amal ma’ruf. Namun karena tabiat manusia adalah makan al-khatha’ wa an-nisyan, maka akan selalu berbuat kesalahan apabila tidak ada aturan yang mengatur dan hamba yang saling menegur. Fiqh jinayah sendiri merupakan segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf, sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.
 Persoalan menuduh seseorang sebagai pemerkosa atau penzina adalah kesalahan yang serius dalam Islam. Malahan Islam membuat kehormatan pada salah satu dari lima kebutuhan dasar yang mesti dijaga dalam Islam. Manakala sesuatu tuduhan zina pada seseorang tanpa barang bukti adalah salah satu dari tujuh dosa besar. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an Surah An-Nur ayat 23 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”.
Al-Qur’an merupakan penjelas Allah tentang syariat, sehingga disebut Al bayan. Albayan secara garis besar mempunyai empat cara dan salah satunya dengan cara nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kami akan memaparkan sedikit tentang jarimah Qadzaf. Apa sih jarimah Qadzaf itu?. Apa sajakah yang menjadi dasar hukumnya?. Dan sanksi hukum yang seperti apakah yang berlaku pada pelaku Qadzaf itu?. InsyaAllah kami akan memaparkannya dalam makalah ini.


B.       RUMUSAN MASALAH
1.)      Apa pengertian Qadzaf ?
2.)      Apa dasar hukum larangan Qadzaf ?
3.)      Apa hak Allah dan hak manusia dalam Jarimah Qadzaf ?
4.)      Bagaimana pembuktian dalam Jarimah Qadzaf ?
5.)      Apa hal-hal yang menggugurkan hukuman ?

C.      TUJUAN
1.)    Memahami pengertian Qadzaf.
2.)    Mengetahui dasar hukum larangan Qadzaf.
3.)    Mengetahui hak Allah dan hak manusia dalam Jarimah Qadzaf.
4.)    Mengetahui pembuktian dalam Jarimah Qadzaf.
5.)    Mengetahui hal-hal yang menggugurkan hukuman dalam Jarimah Qadzaf.


















PEMBAHASAN

A.      Pengertian Al-Qadzaf (Al-Qadzfu)
Salah satu delik pidana dalam hukum pidana islam yaitu Al-qadzfu. Al-qadzf secara harfiah berarti melemparkan sesuatu. Istilah qadzaf dalam hukum islam adalah tuduhan terhadap seseorang bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan.[1]
Qadzaf adalah melempar tuduhan. Menuduh wanita-wanita yang suci dan terjaga tergolong perbuatan yang haram, kecuali orang yang menuduh itu membawa bukti. Qadzaf termasuk perbuatan haram.
Dalam hukum islam, menuduh itu ada dua macam, yakni menuduh zina yang diancam dengan had dan menuduh selain zina yang diancam dengan ta’zir.[2]
Suatu perkataan bisa dianggap tuduhan bilamana tidak sesuai dengan kenyataan. Suatu prinsip dalam fiqh jinayah bahwa barang siapa menuduh orang lain dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu. Apabila ia tidak dapat membuktikan tuduhannya itu, maka ia wajib dikenakan hukuman.
Adapun kepada orang yang menghina orang lain dan yang bersangkutan tidak rela maka ia dituntut untuk membuktikan penghinaannya, sebab sudah jelas penghinaan itu tidak dapat dibenarkan. [3]

B.       Dasar Hukum Qadzaf dalam Al-Qur’an
Dasar hukum bagi orang yang menuduh orang lain berbuat zina adalah didera sebanyak 80 kali, jika yang menuduh orang merdeka. Sebagaimana firman Allah : Q.S. An-Nur ayat 4 :
Artinya : ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka dera lah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik “ (Q.S. An-Nur : 4).
Dan disebutkan juga dalam firman Allah Q.S An-Nur: 13 yang artinya “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?. Oleh karena mereka,tidak mendatangkan saksi-saksi,maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”.
Serta dijelaskan pula dalam Q.S. An-Nur : 19 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) berbuat yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui. Dalam ayat lain juga dijelaskan bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman (berbuat zaina) mereka kena laknat didunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Dihari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut yang semestinya,dan tahulah mereka bahwa Allah lah yang benar, lagi yang menjelaskan segala sesuatu yang menurut hakikat yang sebenarnya.” (Q.S An-Nur : 23-24).
Garis hukum qadzaf didalam Al-Qura’n yang diungkapkan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan tidak mendatangkan empat orang saksi,maka saksi hukum baginya 80 kali dera.
2. Janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang fasik.
3. Orang-orang yang menuduh dimaksud tidak mendatangkan empat orang saksi atas penuduhannya maka mereka itulah disisi Allah orang-orang yang didusta.
4. Orang-orang yang ingin agar berita prilaku yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih didunia dan diakhirat.
5. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik lagi beriman untuk membuat zina,mereka kena laknat didunia dan diakhirat,dan bagi mereka azab yang besar.[4]

C.      Unsur-Unsur Jarimah Qadzaf
1. Menuduh Zina atau Mengingkari Nasab
Maksudnya adalah ucapan yang mengandung tuduhan atau penolakan terhadap tuduhan keturunan, seperti mengatai seseorang telah berbuat zina atau menempelkan predikat pezina kepada seseorang dan tidak mengakui anak atau janin yang lahir atau masih dalam kandungan istrinya.
2. Orang yang dituduh Harus Orang Yang Muhsan
Artinya orang yang dituduh itu orang baik-baik bukan seseorang yang biasa berbuat zina, kalau yang dituduh itu pezina, hal itu bukanlah tuduhan tetapi sesuai dengan kenyataannya.
3. Adanya I’tikad Jahat
I’tikad jahat inilah yang memotivasi perbuatan tersebut untuk mencelakakan orang lain yang tidak berdosa, sehingga tercemar nama baiknya atau celaka karena hukuman dera. Mengenai qadzif (orang yang menuduh orang lain berzina) ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain : berakal, dewasa, tidak dipaksa, inilah syarat-syarat yang menjadi dasar penuntutan.
Sedangkan maqdzuf (orang yang dituduh berzina) fuqaha’ sepakat bahwa diantara syaratnya adalah: islam, akal sehat, baligh, merdeka (bukan budak), iffah (menjauhi perbuatan zina). Kelima syarat tersebut harus terdapat pada tertuduh agar hukuman qadzaf dapat dilaksanakan terhdaap penuduh (atas tuduhan dustanya).[5]

D.    Hak Allah dan Manusia dalam Jarimah Qadzaf
Dalam jarimah qadzaf terkandung dua hak, yaitu campuran antara hak Allah (masyarakat) dan hak manusia, akan tetapi, mana diantara kedua hak tersebut yang lebih kuat. Menurut imam Abu Hanifah, dalam jarimah qadaf hak allah (masyarakat) lebih besar dari hak manusia (individu). Oleh karena itu, apabila perkaranya telah sampai ke pengadilan (hakim) maka hukuman harus dilaksanakan meskipun orang yang dituduh tidak mengajukan. Di samping itu sebagai konsekuensi hak Allah (masyarakat), hukuman qadzaf tidak terpengaruh oleh ma’af dari korban (maqdzuf).[6]
Menurut madzhab Syafi’i, di dalam jarimah qadzaf hak manusia lebih kuat dari pada hak Allah (masyarakat). Hal ini karena qadzaf merupakan jarimah yang melanggar korban dan kehormatan itu adalah haknya. Oleh karena itu, apabilakorban memberikan ma’af kepada pelaku dapat dibebaskan dari hukuman, meskipun perkaranya sudah sampai pengadilan.[7]  Pendapat ini juga diikuti oleh madzhab Hambali. Di samping itu, sebagai konsekuensi dari hak manusia yang lebih dominan maka hukuman had bisa diwaris oleh ahli waris dari korban apabila ia (orang yang dituduh atau korban) meninggal dunia.
Dikalangan madzhab Maliki tidak ada kesepakatan mengenai hal ini, karena Imam Malik sendiri mempunyai dua pendapat. Suatu ketika pendapatnya : pendapat Imam Syafi’i yaitu hak manusia lebih kuat daripada hak Allah, sehingga ada pengaruh ma’af. Akan tetapi, pendapat yang masyhur dari Imam Malik adalah bahwa hak manusia lebih kuat dari pada hak Allah sebelum adanya pengaduan dari orang yang dituduh. Akan tetapi, setelah adanya pengaduan maka hak Allah lebih kuat daripada hak manusia, sehingga tidak ada pengaruh ma’af.[8] Alasan Imam Malik adalah bahwa hak masyarakat belum begitu terlihat kecuali setelah adanya pengaduan. Apabila tidak ada pengaduan maka tidak ada hak lain kecuali hak manusia (individu).
Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hak Allah (masyarakat) dan hak manusia (individu) dalam jarimah qadzaf, namun karena adanya hak campuran di dalamnya, mereka sepakat mengenai perlu adanya pengaduan dan tuntutan oleh orang yang dituduh secara langsung, tidak boleh oleh orang lain. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari kaidah umum yang berlaku dalam syari’at islam, bahwa dalam jarimah huhud pengaduan dari korban tidak menjadi syarat untuk melaksanakan penuntutan terhadap pelaku. Alasan dari pendapat ini adalah walaupun qadzaf termasuk jarimah hudud, namun jarimah ini melanggar kehormatan orang yang dituduh secara pribadi.
Orang yang berhak memiliki pengaduan itu adalah orang yang dituduh itu sendiri. Apabila ia mati setelah mengajukan pengaduannya maka menurut Imam Abu Hanifah tuntutan menjadi gugur, karena hak semata-mata yang tidak bernilai mal (harta) tidak bisa diwaris.[9]  Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, hak pengaduan dan tuntutan bisa diwaris oleh ahli waris. Apabila ahli warisnya tidak ada maka tuntutan menjadi gugur.
Apabila orang yang dituduh itu orang yang sudah meninggal maka menurut jumhur fuqoha termasuk imam yang 4, bisa di adakan penuntutan terhadap penuduh atas dasar pengaduan dari orang yang memiliki hak pengaduan. Apabila pemilik hak pengaduan tidak ada maka tuntutan menjadi gugur. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang dianggap sebagai pemilik hak pengaduan ini. Menurut Imam Malik, orang yang dianggap sebagai pemilik hak pengaduan ini adalah orang tua dari orang yang dituduh dan anak-anaknya yang laki-laki. Apabila mereka ini sama sekali tidak ada maka yang menjadi pemilik hak adalah ashobah dan anak-anaknya yang perempuan, setelah itu saudara perempuan dan neneknya. Menurut Imam Abu Hanifah, hak pengaduan itu dimiliki oleh semua anak dan keturunannya, orang tuanya, termasuk cucu dari anak perempuan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa pemilik hak pengaduan itu adalah semua ahli waris dari orang yang dituduh.[10]




E.     Pembuktian Untuk Jarimah Qadzaf
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti,yaitu sebagai berikut :
1.    Dengan Saksi
Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat –syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina, yaitu baligh, berakal, dapat berbicara, adil, islam, dan tidak penghalang menjadi saksi, adapun jumlah atau banyaknya saksi dalam jarimah qadzaf sekurang-kurangnya dua orang.
2.    Dengan Pengakuan
Jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku (penuduh), bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majlis pengadilan.
3.    Dengan Sumpah
Menurut imam Syafi’i, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh (korban) meminta kepada orang yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan bersumpah maka jarimah qadzaf dibuktikan dengan ke engganannya untuk bersumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had qadzaf.[11] 
Akan tetapi Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh madzhab-madzhab Syafi’i. Sebagian ulama Hanafiah pendapatnya sama dengan madzhab Syafi’i, yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian lagi tidak membenarkannya. Menurut hemat penulis, pembuktian dengan sumpah ini kurang meyakinkan dalam hakim yang hukumnya cukup berat seperti halnya dalam jarimah qadzaf ini.[12]

F.     Hukuman Untuk Jarimah Qadzaf
Hukuman untuk jarimah qadzaf ada 2 macam, yaitu sebagai berikut :
1. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak 80 kali. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut madzhab Syafi’i orang yag dituduh berhak memberikan ampunan, karena hak manusia lebih dominan dari pada hak Allah. Sedangkan menurut madzhab Hanafi bahwa korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena dalam jarimah qadzaf lebih dominan daripada hak manusia.[13]
2.  Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Kedua macam hukuman tersebut didasarkan pada fiman Allah dalam surah An-Nur ayat 4 :
Artinya :
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.S An-Nur : 4)
Hanya saja andai kata mereka tobat, apakah kesaksiannya tetap gugur atau bisa diterima kembali ? dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, kesaksian penuduh tetap gugur, meskipun ia telah bertaubat. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad. Kesaksian penuduh diterima kembali apabila ia telah bertaubat.[14]
Adapun yang menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah karena adanya perbedaan penafsiran terhadap firman Allah dalam surah An-Nur 5 :
Artinya :
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S An-Nur : 5)
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa istisna’ (pengecualian) setelah adanya beberapa kalimat yang di-athafkan (dirangkaikan) hanya kembali pada kalimat yang terakhir. Dengan demikian dalam penafsiran ini tobat hanya berpengaruh terhadap kefasikan. Artinya, dengan taubat maka penuduh tidak fasik lagi, tetapi haknya untuk menjadi saksi tetap dicabut dan tidak di rehabilitasi. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, istisna’ (pengecualian) setelah adanya beberapa kalimat yang di-atahfkan (dirangkaikan) kembali kepada kalimat sebelumnya. Berdasarkan penafsiran ini tobat berpengaruh terhadap kefasikan dan pencabutan hak sebagai saksi. Artinya, dengan tobatnya penuduh maka ia tidak fasik lagi dan haknya untuk menjadi saksi dapat diterima kembali.[15]







G.    Hal-Hal Yang Menggugurkan Hukuman.
Hukuman Qadzaf dapat gugur karena hal-hal berikut ini :
1. Karena para saksi yang diajukan oleh orang yang dituduh mencabut kembali persaksiannya.
2.  Karena orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.
3. Karena korban (orang yang dituduh berbuat zina) tidak mempercayai keterangan para saksi. Ini menurut Imam Abu Hanifah.
4. Karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman. Ini juga menurut Imam Abu Hanifah, sedangkan menurut ulama yang lain tidak demikian.[16] 




















PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Dalam Islam, kehormatan merupakan hak yang harus dilundungi. Oleh sebab itu, tuduhan zina yang tidak terbukti dianggap sangat berbahaya dalam masyarakat.  Dalam hukum islam, perbuatan seperti ini masuk kategori tindak pidana hudud yang diancam dengan hukuman berat, yaitu 80 kali dera. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah An-Nur :4. Dan juga tindakan ini semata-mata karena kebohonganya saja, tetapi juga karena pencemaran nama baik  orang yang dituduh ditengah-tengah masyrakat. Selain hukuman 80 kali dera (cambukan) ditambah dengan tidak diterima persaksianya karena dia dianggap sebagai seorang pembohong, dan persaksianya karena dia dianggap sebagai seorang pembohong, dan persaksianya hanya dapat diterima dari orang yang jujur, kecuali penuduh itu bertaubat.[17]















DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun.

Abdurahman al-Jaziri, kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-‘Arba’ah, Beiurit, Dar al-Fiqh.

Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syara’i, Juz VII, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996.

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Al Maliki, Abdurrahman. Sistem Sanksi dan Hukum Membuktikan dalam Islam. Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 2011.

Djazul, H.A. fiqh jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Dar Al-Fikr, tanpa tahun.

Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989.









[1] Dr.H.Zainuddin Ali, M.A. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika,2007), hal 53.
[2] Abdurrahman Al Maliki, dkk. Sistem Sanksi dan Hukum Membuktikan dalam Islam.(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,2011), hal 59.
[3] Prof.Drs.H.A.Djazuli. fiqh jinayah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 63-64.
[4] Dr.H.Zainuddin Ali,M.A. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal 53-55.
[5] Prof. Drs.H.A.Djazuli. Fiqh Jinayah. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 66-67.
[6] Ala’ Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syara’i, Juz VII, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 77.
[7] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 81.
[8] Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Dar Al-Fikr, tanpa tahun, hlm. 331.
[9] ‘Ala’ Ad-Din Al-Kasani, op. cit. hlm. 81-82.
[10] Ibid, hlm. 482.
[11] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab, Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 482.
[12] Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 69.
[13] Ibid, hal. 491.
[14] Ibid
[15] Muhammad Ibnu Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 81.
[16] Abd Al-Qadir Audah, II, op. cit, hlm. 495.
[17] Abdurahman al-Jaziri, kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-‘Arba’ah, (Beiurit: Dar al-Fiqh, t.t), IV:hlm 179.

2 komentar: